Site icon Media Konsumen

Apakah Para Pencuri Berani Mengesahkan Undang-Undang Potong Tangan?

Apakah Para Pencuri Berani Mengesahkan Undang-Undang Potong Tangan?

Hukum potong tangan sebagai sanksi bagi pencuri telah lama menjadi topik perdebatan, terutama dalam konteks hukum syariah dan sistem peradilan modern. Pertanyaan yang muncul adalah: jika para pencuri sendiri diberi kuasa untuk membuat undang-undang, apakah mereka akan berani mengesahkan hukum seberat itu untuk diri mereka sendiri?

Hukum potong tangan, yang dikenal sebagai hukuman *hadd* dalam Islam, diterapkan dalam kondisi tertentu untuk kasus pencurian berdasarkan Al-Qur’an, khususnya dalam Surah Al-Maidah ayat 38: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai balasan atas perbuatan mereka dan sebagai hukuman dari Allah.” Namun, penerapan hukum ini tidaklah sederhana. Dalam tradisi Islam klasik, hukuman ini hanya diberlakukan dengan syarat-syarat ketat, seperti nilai barang yang dicuri harus mencapai *nishab* (batas minimum tertentu), pencurian dilakukan secara sengaja, dan tidak ada faktor darurat seperti kelaparan.

Dalam konteks modern, penerapan hukum potong tangan menuai kontroversi. Banyak negara dengan mayoritas penduduk Muslim tidak menerapkan hukuman ini karena dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan kontemporer atau karena sistem peradilan yang kompleks. Di sisi lain, ada pula yang berargumen bahwa hukuman ini efektif sebagai pencegah (*deterrent*) terhadap tindak kriminal. Namun, jika kita membayangkan skenario di mana para pencuri sendiri yang membuat undang-undang, muncul pertanyaan filosofis dan etis: apakah manusia, yang cenderung melindungi kepentingan diri sendiri, akan merancang hukum yang merugikan dirinya?

Advertisement

Secara psikologis, manusia memiliki kecenderungan untuk menghindari hukuman dan mencari keringanan bagi diri sendiri. Teori pilihan rasional (*rational choice theory*) menunjukkan bahwa individu cenderung membuat keputusan berdasarkan kepentingan pribadi. Jika para pencuri diberi wewenang untuk membuat undang-undang, kemungkinan besar mereka akan menghindari sanksi seberat potong tangan. Mereka mungkin akan merancang hukum yang lebih ringan, seperti denda atau penjara, yang tidak meninggalkan dampak permanen pada fisik mereka. Ini mencerminkan sifat dasar manusia untuk melindungi diri dari konsekuensi berat.

Namun, ada dimensi lain yang perlu dipertimbangkan: tekanan sosial dan moral. Jika para pencuri ini hidup dalam masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan agama, mereka mungkin merasa terdorong untuk mengesahkan hukum yang sesuai dengan norma tersebut, meskipun itu bertentangan dengan kepentingan pribadi mereka. Dalam hal ini, hukum potong tangan bisa saja disahkan, bukan karena mereka ingin dihukum, tetapi karena mereka ingin mempertahankan legitimasi atau penerimaan sosial di mata masyarakat.

Selain itu, ada aspek ironi dalam pertanyaan ini. Hukum potong tangan dirancang untuk mencegah pencurian dengan menciptakan efek jera. Jika para pencuri berani mengesahkan hukum ini, mereka secara tidak langsung mengakui bahwa tindakan mereka salah dan pantas mendapat hukuman berat. Ini menunjukkan adanya kesadaran moral, meskipun mungkin dipicu oleh tekanan eksternal. Namun, dalam praktiknya, sejarah menunjukkan bahwa mereka yang memiliki kuasa untuk membuat hukum sering kali merancang aturan yang menguntungkan diri sendiri atau kelompok mereka, bukan yang merugikan.

Dari perspektif sejarah, penerapan hukum potong tangan di berbagai masyarakat Muslim pada masa lalu tidak selalu konsisten. Misalnya, pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, hukuman ini jarang diterapkan karena syarat-syaratnya yang ketat sulit dipenuhi. Dalam konteks modern, negara seperti Arab Saudi masih menerapkan hukuman ini dalam kasus tertentu, tetapi dengan proses peradilan yang sangat ketat. Hal ini menunjukkan bahwa bahkan dalam sistem yang mendukung hukum syariah, penerapan hukum potong tangan bukanlah hal yang sederhana.

Kembali ke pertanyaan awal: apakah para pencuri berani mengesahkan undang-undang potong tangan? Jawabannya bergantung pada konteks. Dalam situasi ideal di mana mereka bertindak rasional demi kepentingan pribadi, kemungkinan besar mereka tidak akan mengesahkan hukum tersebut. Namun, dalam masyarakat yang menekankan nilai-nilai agama atau keadilan kolektif, tekanan sosial atau ideologis mungkin mendorong mereka untuk melakukannya, meskipun dengan hati yang berat. Pertanyaan ini, pada akhirnya, bukan hanya tentang pencuri atau hukum potong tangan, tetapi juga tentang sifat manusia, kekuasaan, dan bagaimana hukum mencerminkan nilai-nilai masyarakat.

Sebagai penutup, hukum potong tangan adalah simbol dari ketegangan antara keadilan retributif dan kemanusiaan. Apakah para pencuri berani mengesahkan hukum tersebut? Mungkin tidak, kecuali mereka terpaksa oleh tekanan yang lebih besar dari diri mereka sendiri. Hukum, pada dasarnya, adalah cerminan dari siapa yang memegang kuasa dan nilai apa yang mereka junjung. Dan dalam kasus para pencuri, kuasa itu mungkin akan digunakan untuk melindungi tangan mereka sendiri.

 

Exit mobile version