Dalam praktik perjudian, termasuk judi online, penangkapan penjudol (pelaku perjudian) oleh aparat kadang memang terjadi bukan karena keluhan masyarakat terkait kerugian, melainkan karena adanya laporan yang berasal dari pihak-pihak tertentu. Berdasarkan beberapa laporan kasus di Indonesia, motif pelaporan bervariasi:
- Ada kasus di mana polisi melakukan penangkapan berdasarkan laporan dari masyarakat yang curiga atau merasa terganggu dengan aktivitas judi di lingkungan mereka, seperti pengungkapan di apartemen Grogol Petamburan, di mana masyarakat melaporkan adanya aktivitas mencurigakan di lokasi tersebut.[3]
- Namun, terdapat pula opini di masyarakat bahwa kadang penangkapan pemain judi justru terjadi karena mereka merugikan bandar. Dalam hal ini, yang melapor bisa jadi adalah pihak dari jaringan judi itu sendiri—bisa dari oknum yang berafiliasi dengan bandar, pesaing, atau bahkan dari dalam sindikat sebagai bentuk “pengamanan” bisnis, agar pemain yang curang, “nakal” atau merugikan bandar segera diamankan aparat.[6]
- Dalam banyak kasus besar judi online, polisi juga melakukan penyelidikan berdasarkan informasi intelijen, patroli siber, atau pengembangan kasus laporan pencucian uang dan transaksi keuangan mencurigakan, bukan atas laporan dari bandar secara resmi.[1][3]
Kesimpulan: Secara formal yang melapor ke polisi bisa siapa saja: masyarakat umum, pesaing di lingkungan bisnis perjudian, bahkan dalam beberapa kasus pihak dalam (oknum jaringan atau “orang dalam” yang ingin menjaga stabilitas arus keuntungan bandar). Tidak selalu pelaku ditangkap karena laporan bandar secara resmi ke aparat, namun memang dalam praktiknya, ada dugaan bahwa penangkapan bisa terjadi karena tekanan atau pengaruh tertentu dari pihak bandar saat merasa dirugikan oleh aktivitas penjudol.[6]