Dalam lanskap ekonomi yang semakin dinamis dan digital, konsumen memegang peran vital dalam menopang pertumbuhan pasar. Sayangnya, realitas di lapangan menunjukkan bahwa hak konsumen sering kali terpinggirkan. Banyak pihak menilai bahwa pemerintah Indonesia kurang menunjukkan kepedulian yang tegas terhadap perlindungan konsumen, baik dari sisi kebijakan, penegakan hukum, maupun pengawasan.
Salah satu indikasi nyata dapat dilihat dari masih lemahnya akuntabilitas perusahaan yang melanggar hak konsumen—mulai dari produk cacat, layanan buruk, hingga ketidakjelasan informasi. Meskipun sudah ada Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999), implementasinya sering kali tidak berjalan optimal. Transparansi dalam penanganan laporan konsumen pun masih minim, dan lembaga pengawas terkadang terkesan kurang responsif terhadap pengaduan publik.
Kondisi ini diperparah oleh kurangnya edukasi dan dukungan sistemik bagi konsumen untuk menggunakan haknya. Banyak masyarakat tidak mengetahui ke mana harus mengadu atau ragu untuk melapor karena merasa tidak akan mendapatkan solusi yang adil. Di sinilah peran media konsumen menjadi sangat penting, karena mampu menjadi saluran alternatif untuk menyuarakan keluhan dan tekanan publik terhadap perusahaan maupun instansi terkait.
Namun idealnya, tekanan tidak hanya datang dari masyarakat. Pemerintah perlu lebih proaktif, bukan hanya reaktif ketika isu viral di media sosial. Regulasi yang jelas, sosialisasi yang masif, dan pengawasan yang konsisten harus menjadi prioritas. Konsumen tidak boleh terus-menerus menjadi pihak yang dirugikan tanpa perlindungan yang nyata.
Sudah saatnya pemerintah memandang perlindungan konsumen bukan hanya sebagai kewajiban hukum, tetapi sebagai bagian dari pembangunan peradaban ekonomi yang adil dan berkelanjutan.