Rakyat Merindukan Era Soeharto

Rakyat Merindukan Era Soeharto Rakyat Merindukan Era Soeharto

Mengapa Rakyat Merindukan Jaman Soeharto?

Pemerintahan Soeharto, yang berlangsung selama 32 tahun (1966–1998), sering disebut sebagai era Orde Baru. Meskipun masa itu sarat dengan kontroversi, termasuk pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi, sebagian masyarakat Indonesia hingga kini merindukan masa tersebut. Fenomena ini menarik untuk dianalisis, karena nostalgia terhadap era Soeharto tidak hanya mencerminkan perasaan pribadi, tetapi juga kondisi sosial, ekonomi, dan politik saat ini. Artikel ini akan mengeksplorasi alasan di balik kerinduan tersebut secara mendalam.

1. Stabilitas Ekonomi dan Harga Kebutuhan Pokok yang Terjangkau

Salah satu alasan utama mengapa sebagian rakyat merindukan era Soeharto adalah stabilitas ekonomi yang dirasakan pada masa itu, terutama pada periode 1970-an hingga awal 1990-an. Pemerintahan Orde Baru berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi yang signifikan, rata-rata sekitar 6-7% per tahun. Program pembangunan seperti Revolusi Hijau meningkatkan produksi pangan, sehingga harga kebutuhan pokok seperti beras relatif terjangkau dan stabil.

Advertisement

Fakta: Pada masa Orde Baru, harga beras sering dikendalikan melalui kebijakan Bulog, yang memastikan pasokan dan harga tetap stabil, meskipun kadang-kadang melalui intervensi pasar yang ketat.

Bagi banyak masyarakat kelas menengah ke bawah, kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar tanpa tekanan ekonomi yang berat menjadi kenangan positif. Bandingkan dengan era pasca-Soeharto, di mana fluktuasi harga bahan pokok dan inflasi sering kali membebani masyarakat, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi global.

2. Stabilitas Politik dan Keamanan

Orde Baru dikenal dengan pendekatan otoriternya, yang meskipun membatasi kebebasan berpendapat, menciptakan stabilitas politik yang kuat. Pemerintah Soeharto menekan konflik sosial dan politik melalui kontrol ketat terhadap media, organisasi masyarakat, dan partai politik. Bagi sebagian rakyat, stabilitas ini dirasakan sebagai rasa aman, terutama jika dibandingkan dengan kekacauan politik dan kerusuhan sosial yang terjadi selama transisi demokrasi pasca-1998.

Misalnya, kerusuhan Mei 1998, yang ditandai dengan kekerasan dan ketidakpastian, membuat banyak orang merindukan “ketertiban” yang dulu ada. Meskipun stabilitas ini dicapai dengan mengorbankan kebebasan, sebagian masyarakat menganggapnya sebagai harga yang wajar untuk rasa aman.

3. Pembangunan Infrastruktur yang Masif

Era Soeharto juga dikenal dengan pembangunan infrastruktur yang masif, seperti jalan, jembatan, sekolah, dan pusat kesehatan. Program seperti Inpres (Instruksi Presiden) memungkinkan pembangunan merata hingga ke daerah-daerah terpencil. Banyak masyarakat di pedesaan yang merasakan manfaat langsung dari program ini, seperti akses ke pendidikan melalui Sekolah Dasar Inpres.

Fakta: Program Inpres Sekolah Dasar membangun ribuan sekolah di seluruh Indonesia, meningkatkan angka melek huruf dan akses pendidikan dasar secara signifikan.

Pembangunan ini memberikan kesan bahwa negara hadir dalam kehidupan masyarakat, yang bagi sebagian orang menjadi kontras dengan lambatnya pembangunan di beberapa daerah pada era reformasi.

4. Nostalgia dan Idealisme Masa Lalu

Kerinduan terhadap era Soeharto juga dipengaruhi oleh faktor psikologis, yaitu nostalgia. Bagi generasi yang tumbuh di masa Orde Baru, kenangan tentang harga murah, keamanan, dan pembangunan sering kali diidealisasi. Hal ini diperkuat oleh ketidakpuasan terhadap kondisi saat ini, seperti korupsi yang masih merajalela, ketimpangan ekonomi, dan polarisasi politik. Nostalgia ini tidak selalu mencerminkan realitas objektif, tetapi lebih kepada persepsi bahwa “dulu lebih baik.”

5. Kepemimpinan yang Tegas dan Karismatik

Soeharto dikenal sebagai pemimpin yang tegas dan karismatik. Gaya kepemimpinannya yang otoriter, meskipun kontroversial, dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai simbol kekuatan dan ketegasan dalam mengambil keputusan. Dalam situasi krisis, seperti saat menghadapi ancaman komunisme pada 1960-an, Soeharto berhasil memposisikan dirinya sebagai penyelamat bangsa. Citra ini masih melekat di benak sebagian rakyat, terutama ketika membandingkan dengan kepemimpinan pasca-reformasi yang sering dianggap kurang tegas.

6. Kritik terhadap Nostalgia Ini

Meskipun banyak yang merindukan era Soeharto, penting untuk melihat sisi lain dari pemerintahannya. Orde Baru ditandai dengan pelanggaran HAM berat, seperti kasus Petrus (Penembakan Misterius) dan pembungkaman aktivis. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) juga merajalela, terutama di kalangan elit yang dekat dengan Soeharto. Kebebasan pers dan demokrasi ditekan, sehingga hanya narasi resmi pemerintah yang dominan.

Kerinduan terhadap masa Soeharto sering kali mengabaikan fakta bahwa stabilitas ekonomi dan politik itu rapuh. Krisis moneter 1997-1998, yang menyebabkan jatuhnya Soeharto, menunjukkan bahwa fondasi ekonomi Orde Baru tidak sekuat yang dibayangkan. Ketimpangan sosial juga meningkat, dengan kekayaan terkonsentrasi di tangan segelintir kroni.

Kesimpulan

Kerinduan terhadap era Soeharto mencerminkan perpaduan antara kenangan akan stabilitas ekonomi, keamanan, dan pembangunan, serta ketidakpuasan terhadap kondisi saat ini. Namun, nostalgia ini perlu dilihat secara kritis, karena masa Orde Baru juga memiliki sisi gelap yang tidak dapat diabaikan. Untuk memahami fenomena ini, kita perlu mempertimbangkan konteks historis dan realitas sosial-ekonomi yang membentuk persepsi masyarakat. Dengan demikian, kerinduan ini bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang harapan untuk masa depan yang lebih baik.

 

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Tetap Terkini dengan Berita Krusial

Dengan menekan tombol Berlangganan, Anda mengonfirmasi bahwa Anda telah membaca dan menyetujui Kebijakan Privasi dan Ketentuan Penggunaan kami.
Advertisement
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x