Bayangkan sebuah dunia di mana korupsi tidak lagi dianggap sebagai penyakit sosial, melainkan sebuah “keahlian” yang bisa dipelajari di bangku kuliah. Di setiap universitas ternama di Indonesia, berdirilah Jurusan Manajemen Korupsi, lengkap dengan kurikulum yang dirancang untuk mencetak “profesional” di bidang ini. Tentu saja, ini adalah fantasi satir—sebuah cermin sarkastik untuk melihat betapa absurdnya jika kita menormalisasi perilaku yang menghancurkan bangsa. Mari kita jelajahi ide gila ini dengan sedikit humor, sekaligus merenungkan dampak nyata dari korupsi.
Kurikulum yang “Menggiurkan”
Jurusan Manajemen Korupsi akan menawarkan mata kuliah yang sangat “relevan” dengan dinamika zaman. Misalnya, mata kuliah wajib seperti Dasar-Dasar Penyalahgunaan Wewenang akan mengajarkan mahasiswa cara mengidentifikasi celah dalam sistem birokrasi untuk keuntungan pribadi. Ada juga Manajemen Dana Siluman, di mana mahasiswa belajar cara mengelola anggaran proyek agar “bocor” dengan elegan tanpa meninggalkan jejak. Jangan lupa, Psikologi Manipulasi Stakeholder akan menjadi favorit, mengajarkan seni meyakinkan pihak lain bahwa “semua baik-baik saja” meski dana proyek telah lenyap.
Contoh Mata Kuliah Pilihan: Negosiasi Suap Tingkat Lanjut, Desain Laporan Fiktif, dan Etika Korupsi: Bagaimana Tetap Tersenyum di Depan Publik. Praktikumnya? Magang di proyek-proyek “bermasalah” untuk pengalaman langsung!
Untuk skripsi, mahasiswa bisa memilih topik seperti “Optimalisasi Pengalihan Dana Publik ke Rekening Pribadi: Studi Kasus Proyek Jalan yang Tak Pernah Selesai” atau “Strategi Menghindari KPK: Analisis Taktik Lolos dari Penyelidikan”. Dengan kurikulum seperti ini, lulusan dijamin siap bersaing di “pasar” yang, sayangnya, tampaknya tidak pernah kekurangan permintaan.
Prospek Karir yang “Cerah”
Lulusan Jurusan Manajemen Korupsi akan memiliki prospek karir yang luar biasa—setidaknya dalam imajinasi satir kita. Mereka bisa menjadi konsultan “pengelolaan anggaran” untuk proyek-proyek besar, spesialis “public relations” untuk menutupi skandal, atau bahkan “penutup jejak” profesional yang memastikan tidak ada bukti yang mengarah ke klien mereka. Dengan koneksi yang tepat—yang tentu saja diajarkan di mata kuliah Networking Koruptif—lulusan bisa menikmati gaya hidup mewah, lengkap dengan vila, mobil sport, dan liburan ke destinasi eksotis.
Namun, ada satu hal yang tidak diajarkan di jurusan ini: cara tidur nyenyak di malam hari. Karena, meski dalam dunia satir ini mereka tampak sukses, kenyataannya, para koruptor hidup dalam ketakutan konstan—takut pada penegak hukum, takut pada pengkhianatan rekan, dan takut pada sorotan publik yang suatu hari bisa mengungkap kebusukan mereka.
Mengapa Jurusan Ini “Layak” Dibuka?
Dalam dunia nyata, tentu saja, tidak ada universitas yang waras akan membuka jurusan seperti ini. Namun, satire ini mengajak kita untuk bertanya: mengapa korupsi masih merajalela di Indonesia? Bukankah ini menunjukkan bahwa, entah bagaimana, sistem kita masih memungkinkan praktik-praktik ini berkembang? Membayangkan Jurusan Manajemen Korupsi adalah cara untuk menertawakan absurditas tersebut, sekaligus menyadari betapa mendesaknya kebutuhan untuk reformasi sistemik.
Korupsi bukan hanya soal individu yang serakah; ia juga tentang sistem yang gagal mencegah, hukum yang lemah, dan masyarakat yang terkadang apatis. Jika kita benar-benar ingin “mengajar” sesuatu, mungkin kita perlu Jurusan Manajemen Integritas, di mana mahasiswa belajar tentang transparansi, akuntabilitas, dan keberanian untuk melawan ketidakadilan. Ini adalah jurusan yang benar-benar layak dibuka di setiap universitas.
Dampak Nyata dari “Ilmu” Korupsi
Di balik tawa dan sindiran, korupsi adalah tragedi nyata. Dana yang dikorupsi adalah dana yang seharusnya membangun sekolah, rumah sakit, atau jalan. Ia adalah harapan yang dicuri dari anak-anak yang ingin belajar, dari pasien yang membutuhkan perawatan, dan dari masyarakat yang mendambakan kehidupan yang lebih baik. Jurusan Manajemen Korupsi mungkin terdengar lucu dalam konteks satire, tetapi dampak korupsi sama sekali tidak lucu.
Bayangkan jika energi yang digunakan untuk merancang skema korupsi dialihkan untuk membangun inovasi, memperbaiki sistem, atau menciptakan keadilan sosial. Bayangkan jika “kecerdasan” yang digunakan untuk menghindari hukum digunakan untuk memperkuat hukum. Maka, Indonesia tidak akan membutuhkan jurusan imajiner ini, karena kita akan memiliki masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.
Kesimpulan: Cermin untuk Kita Semua
Jurusan Manajemen Korupsi hanyalah karikatur, sebuah cara untuk menertawakan sesuatu yang sebenarnya membuat kita menangis. Dengan menyindir ide ini, kita diingatkan bahwa korupsi bukanlah sesuatu yang harus dinormalisasi atau dirayakan. Sebaliknya, kita harus memperkuat pendidikan yang menanamkan nilai-nilai integritas, kejujuran, dan tanggung jawab. Hanya dengan begitu, kita bisa memastikan bahwa generasi mendatang tidak akan tergoda untuk menjadi “lulusan” dari jurusan imajiner yang mengerikan ini.
*Tulisan ini bersifat satir dan bertujuan untuk mengkritik fenomena korupsi secara kreatif. Penulis tidak mendukung atau mempromosikan korupsi dalam bentuk apa pun. Mari bersama-sama melawan korupsi dan membangun Indonesia yang lebih bersih dan adil.*
Sangat menyedihkan dan mengharukan. Mari kita sama sama dukung integritas bangsa